Menyambut Asa, Menyemat Makna: Upacara Pembukaan Tahun Ajaran Baru di MTs Silahul Muslimin

Catatan Kepala Sekolah Flash Info

Persen, Kedungasri – Langit pagi masih menyimpan sisa embun ketika satu per satu siswa MTs Silahul Muslimin mulai memenuhi halaman upacara. Ada keheningan yang tak sunyi: langkah kaki, desah napas, dan gumam kecil saling berbaur menjadi simfoni pembuka tahun ajaran baru.

Di antara barisan itu, siswa-siswa baru kelas VII berdiri dalam diam, sebagian menatap penuh rasa ingin tahu, sebagian lain mencuri pandang ke sekeliling, mencoba memahami ruang yang belum sepenuhnya akrab. Mereka datang dari berbagai latar belakang keluarga, sekolah dasar, dan pengalaman hidup—namun pagi itu, semua berdiri dalam barisan yang sama, menyambut sebuah transisi.

Upacara dimulai pukul 07.30 WIB. saya, para guru, serta perwakilan dari komite madrasah hadir dalam balutan kesederhanaan yang tetap berwibawa. Lagu Indonesia Raya berkumandang, dan tiang bendera menjadi saksi bisu dari apa yang sedang berlangsung: bukan sekadar upacara, melainkan proses “menjadi”.

Dalam amanatnya, saya waktu itu menyampaikan pesan yang lebih menyerupai ajakan dialog:

“Madrasah ini bukan tempat mencetak manusia seragam, melainkan ruang belajar yang merawat keberagaman. Kalian datang bukan untuk sekadar duduk di kelas, tapi untuk tumbuh, mempertanyakan, mencari, dan akhirnya memahami siapa diri kalian.”

Momentum penting terjadi saat prosesi penyematan kartu siswa dilakukan. Satu per satu perwakilan siswa baru maju ke depan, menerima kartu identitas. Bagi sebagian orang dewasa, mungkin itu hanya selembar kartu. Namun bagi para siswa baru, itu adalah simbol. Simbol bahwa mereka kini “diakui”, bahwa mereka telah memasuki dunia baru yang menuntut tanggung jawab, kedisiplinan, dan keberanian untuk belajar.

Dalam kerangka dialektika, upacara ini dapat dibaca sebagai titik temu antara tesis: siswa datang dengan identitas lamanya, dan antitesis: lingkungan madrasah yang menawarkan struktur baru, nilai, dan ritme yang berbeda. Maka dari momen ini lahirlah sintesis: identitas baru sebagai siswa MTs Silahul Muslimin.

Proses ini tidak selesai dalam satu hari. Ia akan berlangsung dalam ruang kelas, di halaman sekolah, di antara diskusi dengan guru, bahkan dalam keheningan ketika siswa mulai berpikir lebih jauh tentang siapa dirinya dan apa makna belajar.

Upacara ditutup dengan doa bersama. Langit mulai menghangat, dan barisan siswa perlahan bubar. Tapi di balik bubarnya formasi, ada yang baru sedang terbangun: rasa memiliki, rasa ingin tahu, dan mungkin, untuk pertama kalinya—rasa percaya diri.

Tabik

Agus Romli