Oleh:
H. A Romli, Lc
Memperingati momen sejarah seperti peristiwa G30S PKI yang merenggut nyawa beberapa Jenderal adalah sebuah keniscayaan sebagai bangsa Indonesia, sebab mereka adalah Pahlawan dan benteng pertahanan NKRI yang rela mengorbankan nyawanya.
Saya masih teringat ketika zaman Orde Baru dulu bahwa begitu besar atensi masyarakat terhadap sejarah dalam memperingati G30S PKI. Terlepas ada unsur hiperbola dalam pembelokan sejarah dan pengemasan momen Kesaktian Pancasila oleh rezim Orde Baru, namun pembantaian para Jenderal memang benar adanya.
Maka ketika menjelang peringatan G30S PKI, momen yang saya tunggu-tunggu waktu itu adalah pemutaran film sejarah pembantaian para Jenderal yang disiarkan serentak di semua stasiun televisi, yang secara tidak langsung membawa perubahan mental masyarakat akan kejadian tersebut terhadap jasa besar rezim Order Baru terutama Pak Harto.

Apalagi arus informasi yang serba terbatas -hanya media televisi dan radio-, yang menjelang peringatan G30S PKI setiap hari mewartakan bahayanya Komunis jika muncul kembali. Hal ini saya merasa bahwa memperingati hari kesaktian Pancasila gaungnya -tak lebih- sejajar dengan memperingati hari Proklamasi kemerdekaan atau agustusan.
Dimana-mana orang pada waktu itu membicarakan PKI, menceritakan pembantaian yang dilakukan oleh masyarakat terhadap gerakan Komunis. Sehingga sejarah itu tetap mengalir dan menguap ketika akhir September tiba.
Tidak sedikit pula masyarakat yang hidup pada masanya bercerita ke saya bagaimana perjuangan Mbah, dan saudara-saudaranya membantai komunis di desa dengan detail lokasi yang dijadikan pembantaian.
Peringatan G30S PKI Zaman Demokrasi
Sejak tumbangnya rezim Orde Baru, telah terjadi polarisasi sejarah PKI, yang pada akhirnya merubah sikap dan mental para generasi zaman sekarang. Peringatan G30S PKI bukan lagi sebuah keharusan yang dirayakan dan didramatisir secara berlebihan.
Akhirnya memperingati G30S PKI sekarang kian menghilang ditelan bumi. Media Televisi, Radio, Internet, mengulas gerakan pembantaian bukan topik menarik kagi. film-film dokumenter G30S PKI yang acap tampil menjelang akhir September sudah sepi dari pemutaran. Sehingga saya merasakan akhir September layaknya seperti pada bulan-bulan biasanya, sepi dari cerita, sepi dari warta.

Namun pada satu sisi, saya juga kuatir bahwa arus zaman demokrasi yang serba komplek ini, banyak sejarah penting di negeri ini akan hilang. Terutama oleh generasi akan datang.
Anda mungkin tidak percaya bahwa di komunitas sekolahan saya mungkin juga di komunitas sekolahan lain, banyak anak-anak yang kabur tentang sejarah-sejarah penting di negeri ini. Mereka saat ini hanya mengerti Agustusan, itupun yang mereka tangkap adalah perayaaan lomba dan upacara, sementara dibalik itu tidak begitu banyak yang meresapi bahwa bulan Agustus adalah bulan bersejarah tentang kemerdekaan RI.
Maka, saya sangat setuju ketika dulu Panglima TNI Gatot Normantyo kembali mewacanakan diwajibkan anak-anak sekolahan menonton film dokumenter tentang G30S PKI supaya “eleng” dengan sejarah penting. Walaupun banyak ditentang karena adanya polarisasi sejarah S PKI dan adanya alam demokrasi.
Namun wacana yang belum matang, pada waktu itu, tetap kami agendakan nobar -nonton bareng- bersama siswa/siswi, masyarakat sekitar dan juga mengundang aparat desa, Kepolisian/TNI yang bertempat di halaman pesantren dengan tujuan anak-anak, calon generasi mendatang bisa mengetahui sejarah penting di negeri ini.
Semoga sejarah-sejarah penting di negeri ini tetap terpantau di hati generasi sekarang dan akan datang dengan cara mengedukasi dan memperingatinya. Amien.
Rubrik ini merupakan ide dan gagasan untuk pendidikan yang ditulis oleh Kepala Sekolah MTs Silahul Muslimin dan Terbit setiap sepekan, maksimal satu kali dalam satu bulan